Danang Pamungkas

   Sulit untuk membayangkan bagaimana kebebasan manusia bisa didapatkan tanpa perjuangan untuk meraih kebebasan itu sendiri. Kita akan bertanya, bagaimana cara menjadi manusia yang bebas untuk mengekspresikan diri tanpa tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa? Kita selalu merasa takut untuk menjadi orang yang bebas, karena banyak dalih bahwa kebebasan yang kita miliki dibatasi oleh hak orang lain, tetapi ketika hak orang lain menindas hak kita, apa yang akan kita lakukan? Berbicara soal kebebasan tentunya mudah untuk diucapkan tetapi untuk mengejawantahkannya dalam praksis sosial membutuhkan keberanian yang luar biasa dan pengalaman dalam hal melawan kekuasaan.

    Di sini saya akan menjelaskan bagaimana sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai cerminan suatu kebebasan, hampir berpuluh tahun ia menjadi tahanan politik Orde Baru dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Ia adalah satu dari sekian banyak  tahanan politik yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S yang kehilangan kebebasannya oleh tangan penguasa yang sewenang-wenang. Pram memang selalu bergelut dengan realita, ia bukan seorang yang pesimis, ia seorang yang optimis dan penuh semangat. Walaupun ia telah kehilangan banyak waktu hidupnya di penjara, hal itu tidak membuatnya menyerah dengan realita, bahkan ia semakin berani dalam melawan kekuasaan orba yang fasis dan totaliter.

     Ketika banyak orang yang takut untuk membongkar kebusukan orba, ia adalah orang yang secara terang-terangan melawan kediktatoran, walaupun hal itu membahayakan dirinya sendiri. Banyak dari karyanya yang dibredel oleh pemerintah, tetapi ia tetap saja menulis karena baginya menulis adalah tugas nasional, karena kemerdekaaan Indonesia baginya tidak diperoleh secara gratis tetapi dengan perjuangan berdarah-darah dari zaman nenek moyang sampai disaat ia dewasa. Ia pernah  berkata bahwa “Ini Dunia Bukan Surga! Kalau menganggap ini Surga ya tidak usah ada perjuangan, karena setiap apa yang kita inginkan pasti akan selalu ada aral dan rintangan yang menghalangi, oleh sebab itu pahami ini!” Pesan yang sebenarnya sederhana namun mempunyai makna yang amat dalam. Sangat disayangkan setelah Reformasi ini karya Pram masih dianggap berbahaya untuk dipelajari masyarakat umum, dan dituduh sebagai tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S karena keikutsertaannya dalam organisasi Lekra yang dianggap pemerintah orba sebagai oganisasi sayap PKI. Padahal jika ditelisik lebih dalam, Lekra merupakan organisasi kesenian independen yang memperjuangkan aspirasi rakyat kecil dimasa itu, bahkan Aidit selaku Ketua CC PKI-pun tidak dapat mengakuisisi Lekra sebagai bagian dari partai. Dibredelnya karya Pram oleh pemerintah ini berujung pada pelarangan setiap diskusi yang membahas tentang Pram dan kisah hidupnya semasa di Pulau Buru. Misalkan saja peristiwa pelarangan diskusi tentang karya Pram di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Ketika mahasiswa mengadakan acara diskusi yang seharusnya dapat terlaksana dengan baik, kemudian secara tiba-tiba pihak birokrat kampus tidak memperbolehkan adanya kegiatan tersebut dan menghimbau mahasiswa untuk patuh terhadap pesan dari birokrat. Peristiwa ini sungguh ironis, karena  sejak Pram hidup dan meninggal ia selalu ditindas oleh penguasa, bahkan di era yang “katanya” demokratis ini ia masih tersisih dan disingkirkan oleh orang-orang yang sinis terhadapnya.

   Pram merupakan sosok sastrawan Indonesia yang berkali-kali disebut sebagai calon kandidat utama peraih nobel sastra dunia. Lewat Roman Tetralogi yang dibagi menjadi serial Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, ia mengguncangkan dunia dengan karya yang menyuguhkan gambaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum Revolusi Kemerdekaan tahun 1945. Ia seorang penulis yang besar dan belum ada sastrawan Indonesia yang menandingi karyanya serta produktivitasnya dalam menulis. Romannya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, ia selalu di undang dalam berbagai seminar internasional mewakili sastrawan Indonesia. Ia beberapa kali diwawancarai oleh wartawan dalam maupun luar negeri karena begitu banyak orang yang mengagumi karyanya. Setiap cerita novel yang ia suguhkan benar-benar membawa kita ke masa lampau yang tidak pernah kita temukan di zaman sekarang. Karya yang ia buat tidak pernah jauh dari realita sosial masyarakat dan selalu menyentuh akar permasalahan, hal itu menarik dilihat sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang sastrawan yang menganut paham realisme sosialis. Ketika kita membaca karya Pram, kita akan dengan mudah terbawa perasaan emosional dan melihat realitas itu secara nyata sehingga menciptakan suasana empati yang begitu mendalam terhadap kisah-kisah yang ia tulis. Beliau adalah sosok sastrawan revolusioner yang pernah ada di Indonesia.

   Pram berkali-kali mendapatkan penghargaan karya sastra di tingkat internasional, bahkan The San Fransisco Chronicie menganggapnya sebagai Albert Camus-nya Indonesia. Ia juga dihadiahi mesin ketik oleh Jean Paul Sartre seorang Sastrawan dan Filsuf Eksistensialisme Perancis yang mengagumi karyanya. Akan tetapi mesin ketik itu tidak pernah sampai ketangannya, karena Militer Angkatan Darat terlebih dulu mengamankan mesin ketik tersebut. Hal yang sangat ironis, sastrawan besar yang dipuja-puja oleh dunia, malah ditindas oleh bangsanya sendiri. Kemerdekaan yang seharusnya ia dapatkan dirampas begitu saja oleh pemerintah orba. Pram merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia, tanpanya kita tidak akan mempunyai roman sejarah yang secara detail menceritakan zaman pergerakan sebelum Revolusi Indonesia. Beliau merupakan manusia yang memuja kebebasan dan kesetaraan, oleh sebab itu kita akan selalu terhanyut oleh setiap bait kalimat yang ia tulis di dalam karya sastranya.

    Dari berbagai penjelasan diatas mengenai Pram, tentunya sekarang kita akan bertanya, apa yang seharusnya kita pelajari dari karya Pram? Mengapa kita harus mengenal Pram secara lebih dekat? Kenapa kita harus belajar dari Pram?

 Karya Pram memang fenomenal, saya baru membaca Jejak Langkah dan Rumah Kaca, meskipun baru membaca dua karya tersebut, ada cerita yang sangat menarik ketika ia menggambarkan masyarakat Indonesia. Di dalam karyanya ia menceritakan bagaimana kekuasaan kolonial menindas masyarakat pribumi dengan sangat keji dan tidak berperi kemanusiaan. Ia juga melihat feodalisme Jawa yang ikut serta dalam menindas rakyat pribumi dengan menggunakan darah ningrat untuk memperbudak kelas sosial yang ada dibawahnya. Kemudian Pram dengan sangat jeli melihat gerak sejarah masyarakat Indonesia yang sedang aktif berorganisasi untuk membangun kekuatan politik melawan kekuasaan kolonial. Tokoh bernama “Minke, Mas Marco, dan Hendrik Friesbothen” menjadi agen penggerak surat kabar untuk mengadvokasi pribumi yang ditindas oleh penguasa kolonial maupun kaum feodal. Di dalam karyanya Pram selalu menyelipkan pesan moral dan kebebasan bahwa setiap bangsa berhak merdeka, oleh sebab itu segala bentuk penjajahan harus dilawan. Kesetaraan sosial yang diidamkan oleh Pram memang merupakan suatu keniscayaan sejarah yang harus dibuktikan. Di dalam karakter Minke sering sekali Pram mengutip peristiwa Revolusi Perancis yang ia sebut sebagai cerminan kebebasan.

     Tidak sampai disitu saja, Pram mengajak kita untuk mengenal bagaimana berorganisasi dan membangun semangat perjuangan lewat cerita berdirinya organisasi Syarikat Priyayi dan Medan Priyayi. Tentunya karya Pram ini bukanlah imajinasi yang turun dari langit, hal itu dikarenakan kesukaannya menganalisis peristiwa sejarah, pengalaman hidup dan keilmuannya untuk berpraksis di dalam ranah sosial. Ia pernah berkata “kalau hidup tidak punya keberanian, lantas apa harga hidup kita ini”, ia juga pernah berkata “seorang terdidik harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Ia seorang sastrawan sekaligus intelektual yang peduli terhadap segala bentuk penindasan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat kecil, tentunya hal ini sangat jarang kita jumpai di dunia ini. Banyak orang berpendidikan yang hanya menggadaikan ilmunya untuk penguasa, menutup hati, mata, dan telinganya untuk tidak peduli pada nasib rakyat miskin yang tertindas. Kita harus belajar dari Pram, di usia yang sudah tidak muda ia masih melawan dan mampu berkata jujur pada kebenaran, disaat ajal menjemputnya ia tetap ditindas oleh penguasa. Lantas apakah kita akan menyerah dengan realita yang sedang membangkrutkan akal dan hati kita sekarang ini? Tentunya tidak! cita-cita Pram bukanlah utopis, tetapi kebebasan pasti butuh perjuangan, karena perjuangan Indonesia bisa merdeka, karena melalui perjuangan rezim orba dapat dilengserkan. Tanpa perjuangan untuk melawan, kebebasan tidak akan pernah kita dapatkan. Ini dunia bukan surga!

   Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2012 UNY, dan Anggota Mazhab Colombo