Wisma Tegar Septian

   Ketika mendengar nama Soekarno, maka yang pertama kali kita ingat adalah sosok Presiden pertama Republik Indonesia. Sosok Proklamator yang berkharisma ini sangat terkenal terutama angkatan 1930-1940 an yang masih hidup sampai saat ini, banyak foto-foto Bung Karno terpampang di dinding rumah para pengagumnya. Bahkan di era-reformasi ini masih ada “simbah-simbah” yang dengan polosnya menganggap bahwa Presiden Indonesia saat ini masih Soekarno, hal ini menunjukkan bahwa sosok sang proklamator ini begitu populer di hati masyarakat.

   Namun apakah hanya foto maupun poster seorang Bung karno saja yang kita kenal? Apakah kita mengenal Soekarno dari segala pemikiran sang orator ulung ini?  Dalam dunia pendidikan di negeri ini pemahaman tentang Soekarno dirasa masih sangat kurang, terutama dalam memberikan pengetahuan tentang Soekarno dan pemikiran-pemikiran cemerlang yang ia punya. Mayoritas yang diketahui para siswa tentang beliau hanyalah Soekarno sebagai Proklamator kemerdekaan serta Presiden NKRI pertama, dan beberapa  hal kecil saja tentang kehidupan beliau. Di dalam pelajaran sekolah siswa tidak diajarkan bahwa Soekarno adalah pemimpin besar revolusi Indonesia, tidak pula siswa mempelajari gagasan-gagasan Bung Karno seperti pandangan marhaenisme, mengenalkan hasil-hasil pemikirannya, dan asal-muasal pemikiran Soekarno tentang marxisme.

    Terlahir pada tahun 1901 di Surabaya, dari ibu yang berasal dari Pulau Dewata berkasta Brahmana, dan ayah bergelar Raden dari Jawa. Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat beliau tinggal di Surabaya, di rumah H.O.S Tjokroaminoto seorang politisi pendiri Syarikat Islam. Kemudian  ia melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS Soekarno telah melatih semangat dan jiwa nasionalisme. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan melanjutkan kuliah di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi) yang sekarang bernama ITB dan berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

    Bung Karno sendiri adalah seorang sinkretis yang menghendaki persatuan dan toleransi, berusaha untuk menyatuan berbagai perbedaan. Gaya pemikiran yang menjunjung tinggi semangat toleransi itu dipengaruhi oleh bapak kos sekaligus guru politiknya yaitu H.O.S Tjokroaminoto, yang juga pernah menulis sebuah artikel yang bukan hanya membahas mengenai Islam dan Sosialisme, tetapi berusaha untuk mencari persamaan serta titik temu antara Islam dan Sosialisme yang pada saat itu dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu paham yang saling bertentangan. Pengaruh itu mulai terlihat jelas dalam karangannya yang terkenal berjudul: Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang diterbitkan oleh majalah Suluh Indonesia Muda tahun 1927. Kelak tulisannya itu melahirkan gagasan Nasakom yang diusung pada tahun 60an yang merupakan hasil dari sinkretisme Soekarno dalam upayanya untuk menyatukan 3 kekuatan besar di Indonesia yaitu kaum Agama, kaum Nasionalis, dan Kaum Komunis. Hal ini berkaitan dengan situasi perang dingin yang pada saat itu membutuhkan semangat dari ketiga golongan tersebut untuk tidak terpecah-belah.

    Marhaenisme Ajaran Bung Karno

  Munculnya ideologi Marhaenisme tidak terlepas dari obsesi Bung Karno untuk menciptakan ideologi pemersatu dari berbagai gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menyadari bahwa tiga gerakan yang paling gigih memperjuangkan kemerdekaan adalah gerakan nasionalis, gerakan islam, dan gerakan komunis, maka Bung Karno yang ter-ilhami oleh teori Marxisme melihat bahwa kaum buruh yang dalam bahasa marxis adalah kaum proletar merupakan aktor dalam perjuangan kelas. Tetapi kemudian Bung Karno menambahkan gagasannya sendiri untuk meilhat masyarakat Indonesia dalam perspektif Marxis bahwa sentral dalam Marhaenisme adalah kaum Marhaen. Menurut Soekarno yang masuk kedalam kategori kaum marhaen adalah yang mempunyai alat produksi namun masih saja dimelaratkan oleh sistem, dan kaum proletar sebagaimana yang didefinisikan oleh Marx, yaitu kaum yang tidak memiliki alat produksi dan hanya menggadaikan waktu dan tenaganya kepada pemilik modal pun juga masuk kedalam kategori kaum marhaen. Jadi kaum marhaen sendiri cakupannya lebih luas dari proletar. Kalau proletar lahir dari iklim indutrialisasi di wilayah perkotaan, maka marhaen terlahir dari wilayah pertanian dan pedesaan.

  Kemudian, untuk mempertemukan kaum Islamis dan kaum Marxis, Bung Karno menggunakan dua pendekatan. Pertama, Bung Karno menekankan bahwa gerakan Marxis dan gerakan Islam adalah sama-sama gerakan yang menentang kolonialisme maupun imperialisme. Kedua, ia menekankan bahwa “Marhaenisme tidak selalu anti-Tuhan”, dan lebih merupakan suatu metode berfikir. Dengan demikian, pisau analisis ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pejuang Muslim.

    Cukup lama usaha Bung Karno untuk memformulasikan suatu ideologi pemersatu rakyat Indonesia, dengan menciptakan suatu ideologi yang dapat mempertemukan Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dalam perkembangannya, ia mengadopsi analisis ekonomi Marxisme ke dalam Marhaenisme, bahkan ia menegaskan bahwa Marhaenisme adalah “Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia”, walaupun kenyataannya ideologi ini lebih merupakan sinkretisme Bung Karno sendiri dari bacaannya terhadap pemikiran gerakan Nasionalis, gerakan Islam, dan gerakan Marxis di Indonesia.

De-Soekarnoisasi

     Krisis pengetahuan masyarakat Indonesia tentang pemikiran-pemikiran Bung Karno saat ini cukup memprihatinkan, dimana seharusnya suatu bangsa harus mengetahui betul apa dan bagaimana pemikiran dari sejarah para pendahulunya. Namun yang patut menjadi pertanyaan adalah siapa pemain utama di balik de-soekarnoisasi ini?

     Proses de-soekarnoisasi sendiri mulai terlihat setelah peristiwa G30S? Dimana Soekarno juga dituduh sebagai dalang peristiwa itu, setahun setelah kejadian tersebut rezim Soekarno runtuh dan digantikan oleh Soeharto yang menyebut bahwa masa kekuasaannya ia sebut Orde Baru, dari masa kepemimpinan sebelumnya disebut Orde Lama, dari penamaan tersebut dapat dianalogikan sebagai “Lupakan yang lama dan menatap yang di depan”. Maka sadar atau tidak sadar hanya dengan permainan kata “Orde Baru” saja memaksa masyarakat untuk beranggapan bahwa Orde Lama (kepemimpinan Soekarno) sudah usang dan kurang pantas untuk diingat-ingat kembali, hal ini dikuatkan lagi oleh jargon “bahaya laten komunisme” yang galakkan di era Orde Baru, peristiwa pembantaian massal 65 serta munculnya TAP MPRS No.25/1966 membuat ngeri siapa saja yang mendengar kata Marxis-Komunis, sedangkan Bung Karno sendiri mengakui bahwa ia adalah seorang Marxis juga menjadi korban dari pelenyapan ideologi yang dianggap haram oleh Orde Baru ini. Padahal jika kita ingin mengetahui atau mempelajari konsep marhaenisme ajaran Bung Karno maka kita harus memahami terlebih dahulu apa itu marxisme.

    Di dunia pendidikan pun rezim Orde Baru sangat menghegemoni, mengontrol penuh ingatan sejarah, memilah dengan sangat sistematis mana yang harus di ingat dan mana yang tidak selama 32 tahun, oleh karena itu tidak mengherankan jika masyarakat menjadi kurang begitu kenal dengan dengan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, masyarakat hanya mendapatkan gambar dan foto dari Bung Karno saja, tidak disertai dengan pemikiran-pemikiran hebat yang telah digagas oleh Bung Karno selama puluhan tahun  yang lalu.

    Dalam perkembangannya di era Reformasi ini, hegemoni Orde Baru dalam mengontrol ingatan sejarah masih sangat terasa dalam berbagai hal, seperti stiker “Penak Jamanku To?” Hal ini membuat setiap orang yang membaca jargon Orde Baru ini menjadi terhipnotis untuk mengingat yang baik-baik saja dari Orde baru. Romantisme kata-kata itu membuat perasaan ingin kembali ke masa Orde Baru tanpa mengingat keburukan-keburukan apa saja yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Masih adanya ketakutan di dalam masyarakat Indonesia untuk membicarakan Marxisme, serta munculnya kembali jargon lama Orde Baru yaitu “bahaya laten komunisme” yang akhir-akhir ini kembali muncul ke permukaan. Dengan mengkambing hitamkan ideologi yang sudah tidak laku, bubar, usang, dan tidak ada peminatnya, orang-orang eks-Orde Baru mencoba untuk kembali merangkak naik untuk berkuasa kembali melalui berbagai propaganda yang menyudutkan berbagai pihak yang ingin mencari kebenaran sejarah yang selama 32 tahun di tutupi dengan rapat oleh rezim penguasa.

      Oleh karna itu kita sebagai bangsa besar yang tidak ingin kehilangan jati diri, sudah sepatutnya mempelajari tentang bagaimana pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa Indonesia terutama Bung Karno. Dengan mempelajarinya kita akan mengenal Bung dengan lebih dekat. Di era-Reformasi ini seharusnya tidak ada lagi pembatasan ingatan sejarah, diharapkan masyarakat Indonesia dengan bijaksana mampu memilah-milah mana yang baik dan yang perlu untuk diadopsi dari pemikiran Bung Karno untuk disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

    Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2014, dan Kepala Bidang DPH Mazhab Colombo

Satu pemikiran pada “Soekarno Yang Hilang Dari Pemikiran Bangsa Indonesia

Komentar ditutup.